Select menu item

Persiapan Sekolah Ortu ABK

Mendekati usia sekolah merupakan titik yang membuat orangtua kuatir tentang persiapan masuk sekolah untuk anak, khususnya anak ABK. Apakah anak saya siap bersekolah? Apakah anak saya sebaiknya di sekolahkan di sekolah khusus atau sekolah umum? Apa saja yang harus dipersiapkan supaya dia siap? Banyak sekali yang harus menjadi pertimbangan sebelum orangtua memilih sekolah yang cocok untuk sang anak. Sekolah yang cocok untuk ABK, belum tentu sekolah favorit yang terkenal, bisa jadi sekolah yang biasa-biasa saja tetapi mengakomodir kebutuhan dari sang anak. Seyogyanya sekolah merupakan sarana sang anak untuk mencapai kemajuan optimum demi masa depan sang anak, bukan demi prestise atau kenyamanan orangtua.

Adalah persepsi yang salah jika ABK disamakan dengan anak tipikal yang memiliki speech delay biasa. Jika benar sang anak terdiagnosa autisma atau ADHD, jangan dengarkan kata orang bahwa anak si A belum bicara begitu sekolah langsung lancar dalam 3 bulan, anak si B sekolah disitu bagus yang tadinya bicara minim tetapi jadi sekarang sudah bisa lancar berbicara pintar ini itu dan sebagainya.  Atau anak si C itu juga tidak bisa diam tetapi begitu sekolah dia bisa duduk tenang dan bisa ikuti pelajaran dengan baik. Harap dimengerti dan diterima oleh orangtua bahwa kondisi anak-anak dengan autisma dan ADHD adalah berbeda. Tidak dengan sendirinya mereka dimasukkan ke sekolah menjadi bisa bicara, bisa mengikuti aturan sekolah dan menjadi mandiri seperti anak-anak tipikal yang mungkin hanya terlambat perkembangan bahasa dan sosialnya.

Jadi, apa saja yang harus disiapkan atau dipertimbangkan orangtua dalam memilih sekolah yang cocok untuk ABK nya? Tips-tips dibawah ini dapat dipelajari sebelum orangtua memutuskan mengenai sekolah sang anak.

  1. Banyak sekali kemampuan yang diperlukan oleh sang anak untuk dapat berhasil dalam bersekolah. Mungkin berbeda dengan persiapan anak tipikal yang umumnya orangtua berpikir tentang kemampuan mengikuti pelajaran akademik, tetapi untuk anak ABK orang tua harus memikirkan lebih banyak kemampuan dasar bahasa, sosial dan interaksi yang harus dimiliki oleh ABK sebelum mereka bersekolah. Contoh dari kemampuan itu adalah dibawah ini. Anak harus diajarkan kemampuan tersebut (minimal memiliki walaupun belum sempurna) sebelum dapat bergabung bersekolah.
    1. Memiliki kemampuan imitasi dari lingkungan. Anak belajar dari imitasi terhadap lingkungannya, apakah itu dalam bentuk gerakan atau suara (bahasa). Jika anak belum memiliki kemampuan untuk imitasi spontan atau dengan sedikit prompt, bagaimana anak mengambil manfaat dari bersekolah?
    2. Memiliki kemampuan mengikuti perintah. Bagaimana anak bisa mengikuti arahan guru jika tidak bisa mengikuti perintah guru? Dirumah yang diberikan dari orangtua khusus terhadap sang anak sendiri, anak sering tidak bisa melakukannya, bagaimana mengikuti perintah guru yang mana guru memberikan perintah kepada sekelas, tidak hanya untuk sang anak individu.
    3. Memiliki kemampuan meminta barang dan mengungkapkan keinginannya. Bagaimana anak dapat berhasil baik dan tidak memiliki masalah perilaku jika anak tidak dapat mengutarakan apa yang dia inginkan. Biasanya masalah perilaku terjadi jika anak tidak mendapatkan atau mengutarakan apa yang dia inginkan.
    4. Memiliki kemandirian untuk kegiatan-kegiatan sederhana. Walau keliatannya kegiatan ini sederhana, tetapi kemandirian adalah termasuk hal yang sulit dilakukan oleh ABK. Contoh bentuk kemandirian di sekolah, cuci tangan sendiri, bisa menyiapkan alat-alat tulis untuk siap belajar, membereskan tasnya sendiri, bisa meminta dan pergi ke toilet serta membersihkan diri sendiri, bisa makan dan menyiapkan peralatan makan sendiri, dll.
    5. Memiliki kemampuan belajar dalam kelompok. Di dalam kelas, kegiatan dilakukan dalam berkelompok, apakah itu kelompok-kelompok kecil saat pembagian grup atau kelompok besar dalam pelajaran 1 kelas. Jika anak belum bisa memiliki kemampuan belajar mandiri bagaimana dia mengikuti dan menangkap pelajaran dalam bentuk kelompok?
    6. Memiliki kemampuan menunggu. Di dalam kelas, tidak semua keinginan anak dapat dipenuhi karena begitulah hidup sebenarnya. Terkadang anak harus belajar juga tidak mendapatkan atau harus menunggu untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Jika tidak memiliki kemampuan ini, akan timbul masalah perilaku di sekolah.
    7. Memiliki minimal masalah perilaku
      Di dalam kelas anak diharapkan memiliki kemampuan untuk mengontrol dirinya sendiri. Tidak ada anak yang terlepas dari masalah perilaku, apalagi usia dini, tentu wajar jika anak menangis. Tetapi, kemampuan anak untuk mengontrol emosinya sehingga tidak menangis atau tantrum berlebihan tentu perlu. Sekolah adalah tempat pertama anak melatih sosialisai secara kelompok yang lebih besar. Bagaimana jika tidak mendapatkan sesuatu yang dia harapkan, kesal, capek, ngantuk, lapar, dll padahal anak harus mengikuti kegiatan di dalam kelas? Tentu hal ini berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengutarakan apa yang dia inginkan atau rasakan, dan juga kemampuan untuk menunggu, menerima kata “tidak” dari sang guru atau teman lainnya.
    8. Minimal memiliki masalah sensori
      ABK yang bisa mengambil manfaat sekolah adalah anak yang memiliki minimal masalah sensori. ABK biasanya memiliki masalah sensori yang unik untuk setiap anaknya. Dan bagaimanapun ruang kelas adalah ruang yang penuh dengan sensori luar biasa. Sensori dari penglihatan misalnya bermacam-macam warna dan gambar yang ada di ruang kelas. Sensori untuk pendengaran, bayangkan ributnya anak usia dini teman sekelas yang mungkin berjumlah sekitar 20 orang dan kemungkinan masih belajar untuk berbicara atau bergerak bergantian. Dan lain-lain. Tentu ini bukan hal yang mudah untuk diatasi oleh ABK yang belum terbiasa dengan masalah ini.
    9. Memiliki kemampuan berbahasa yang cukup
      Tentu untuk dapat memahami apa yang dibicarakan guru atau temannya, sang anak harus memiliki kemampuan berbahasa yang cukup untuk usia atau kelas tersebut. Bahasa ini juga dijabarkan kembali menjadi bahasa untuk meminta barang atau aktivitas yang dia inginkan (mand), melabel benda-benda (tact) meng-echo bahasa tersebut (echoic) dan menjawab pertanyaan yang diajukan orang lain (intraverbal). Yang sayangnya untuk ABK utamanya autisma, tidak menjadi otomatis begitu anak bisa bicara, lalu bisa melakukan mand, tact, echo atau intraverbal. Bagaimana dia bisa berinteraksi dan bersosialisasi jika dia tidak memiliki bahasa yang cukup, termasuk juga memahami perintah dan pelajaran dari guru.
    10. Memiliki (minimal) kemauan berinteraksi dan sosialisasi
      Tujuan utama dari anak bersekolah adalah untuk meningkatkan interaksi dan sosialisasi sang anak di lingkungan yang lebih luas dari rumah. Paling tidak anak sudah memiliki sedikit minat untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan temannya. Sehingga guru dan teman-temannya bisa secara aktif untuk mengajak sang anak berinteraksi dan bersosialisasi.
    11. Memiliki sedikit atau dasar dari kemampuan akademik
      Tentu tujuan lain bersekolah selain untuk belajar sosialisai dan interaksi, adalah anak diharapkan dapat belajar akademik. Apakah anak memiliki kemampuan di atas? Walau bisa jadi anak mendapatkan IEP (Individualized Education Plan – rencana belajar individu), tetapi paling tidak sejalan dengan yang diajarkan di kelas, walau mungkin target yang diberikan berbeda dengan teman-teman di kelas.
    12. Memiliki kemampuan mengikuti rutinitas tetapi anak tetap bisa fleksibel terhadap perubahan yang terjadi. Beberapa ABK khususnya anak dengan autisma sangat kaku dalam mengikuti rutinitas. Mereka kesulitan untuk mengikuti perubahan dalam rutinitas. Padahal yang namanya sekolah adalah hal yang dinamis.

 

  1. Jika anak sudah siap, apa yang orangtua harus orang tua persiapkan lagi?
    1. Apakah sekolah menerima dan memiliki program atau tim khusus untuk penanganan ABK? Guru yang tidak paham dengan ABK akan tidak tepat sasaran menanganinya. Contohnya anak hiperaktif atau mengalami masalah sensori dan tantrum akan di cap dengan anak yang sulit diatur, padahal anak sedang berjuang untuk menghadapi sensori terlalu banyak yang masuk padanya. Contoh lain anak dengan autisma yang tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru dianggap tidak bisa, padahal belum tentu. Mereka bisa, tetapi memilih untuk tidak mengerjakannya karena kurang motivasi. Guru yang baik dan mengenali tanda-tanda ini bisa membantu anak me-manage sensori yang masuk atau dapat memotivasi anak dengan autisma untuk mengerjakan tugasnya.
    2. Jangan pernah sekali-sekali orangtua berbohong mengenai kondisi sang anak agar anak diterima di sekolah. Karena hal ini akan beresiko terhadap peningkatan perkembangan sang anak. Bisa jadi setelah anak masuk dan tidak mungkin sekolah mengeluarkan, tetapi pada akhirnya sekolah dan guru tidak siap dengan kondisi sang anak sehingga anak tidak memiliki perkembangan yang optimum. Sekolah hanya sekedar bersekolah, tanpa makna seperti yang diharapkan. Bisa jadi anak yang hipoaktif dan hanya duduk di pojokan kelas akan terlihat sebagai anak baik karena tidak menangis atau mengganggu temannya, tapi apakah dia mengambil manfaat dari sekolahnya? Karena seringkali guru yang tidak paham menganggap anak yang diam dan tidak mengganggu teman atau jalannya pelajaran berarti anak yang manis. Apakah anak dapat mengambil manfaat dari bersekolah, hal ini masih menjadi pertanyaan.
    3. Persiapkan program dan juga prasarana yang diperlukan untuk menghadapi sekolah. Apakah anak siap mandiri di kelas? Apakah anak memerlukan bantuan guru pendamping, full time atau part-time?
    4. Tergantung dari kemampuan anak, biasanya anak akan memiliki IEP tersendiri yang disusun oleh guru dan akan di evaluasi setiap 3-6 bulan untuk target-target yang ingin dicapai. Target bisa berbentuk akademik atau bahasa dan sosialisasi tergantung kesepakatan dengan orangtua.
    5. Orangtua harus sebagai dirijen yang mengatur informasi tentang sang anak dari beberapa professional yang terkadang berasal dari beberapa tempat. Misal terapi ABA dicenter A, terapi OT/SI di rumah sakit, bersekolah di sekolah inklusi lain lagi dan termasuk kebiasaan-kebiasaan sang anak dirumah. Orangtua harus menginformasikan semua program dan perkembangan dari semua kemampuan sang anak kepada semua orang yang terlibat. Terkadang anak tidak menunjukkan kemampuan optimum terutama menghadapi orang yang baru dikenal sehingga terkadang program jadi mundur karena guru tidak tahu kemampuan sang anak sebenarnya. Bikin daftar singkat apa yang anak sudah bisa lakukan dan berikan ke guru, termasuk apa yang dia sukai atau tidak sukai dan bagaimana menangani sang anak jika timbul masalah perilaku (selain pengalaman pribadi di rumah juga jangan lupa memasukkan di dalam daftar tersebut masukan-masukan dari terapis-terapis untuk menangani sang anak). Jika perlu gunakan video supaya lebih jelas.
    6. Masuk ke sekolah regular bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi ini adalah mulai dari perjalanan di dunia sebenarnya. Jangan baper. Disini orangtua dan anak menghadapi kenyataan hidup sebenarnya. Kalau selama ini anak ada di tempat terapi atau dirumah terlihat perkembangan sang anak dan orangtua menjadi senang, tetapi di sekolah orangtua dihadapkan di dunia nyata dan melihat langsung kondisi anak dibanding teman sebaya. Tidak usah membandingkan sang anak dengan teman-temannya tetapi fokuslah pada target dan perkembangan sang anak.
    7. Kenalkan anak dengan lingkungan sekolah sebelum sekolah dimulai. Anak juga tidak nyaman jika dia tidak atau kurang paham apa yang akan terjadi pada dirinya di sekolah. Gunakan social story untuk menjelaskan apa yang dia harus lakukan di sekolah. Kenalkan sang anak ke guru-guru yang mungkin terlibat dengan anak termasuk lokasi-lokasi aktivitas di sekolah. Seperti dimana kantin, toilet, ruang olahraga, ruang musik, taman bermain dan lain-lain. Ini sebaiknya dilakukan sebelum sekolah dimulai supaya memberikan waktu kepada anak untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Jika tidak cukup dalam 1 kunjungan, anda bisa lakukan kunjungan berikutnya.
    8. Hal yang sama juga perlu dilakukan setelah libur agak panjang untuk mengingatkan kembali apa yang anak harus lakukan di sekolah. Mengubah rutinitas terkadang merupakan hal yang sulit dilakukan ABK.
    9. Jangan lupa melatih anak untuk mengikuti rutinitas dan kemandirian di sekolah. Seperti pergi ke toilet, mengambil buku dan alat-alat tulis di tas, makan dengan duduk manis dan membereskan kotak makanannya, dll. Mungkin perlu dilakukan simulasi sekolah untuk pindah dari satu kelas/kegiatan kelas/kegiatan lainnya, apalagi kalau anak memiliki kesulitan dengan perubahan.
    10. Dekati orang-orang tua lain yang sekelas dengan anak. Kenalkan dan jelaskan kondisi anak terhadap mereka dengan cara yang baik. Lebih baik orangtua mencegah isu yang kurang mengenakkan dengan menjelaskan di awal kondisi anak dan meminta pengertian dari orangtua dan anak-anak lain untuk mendukung sang anak. Orangtua juga bisa minta bantuan guru untuk menjelaskan kondisi ini terhadap orangtua atau anak lain.
    11. Terlibatlah dengan aktif (tanpa harus mencampuri urusan sekolah) untuk mendukung keberhasilan perkembangan anak di sekolah. Berempatilah kepada guru yang mengajar. Pahami kesulitan yang dihadapi guru dalam menghadapi sang anak dan selalu menjadi aktif membantu guru untuk mencari solusi dari apa yang terjadi jika ditemukan masalah. Orangtua jangan terlalu reaktif dengan sesuatu masalah, tetapi bersikaplah proaktif dan lebih baik lagi jika dapat mencegah masalah yang akan terjadi.

 

Untuk bergabung dengan diskusi tentang topik-topik lain mengenai metoda ABA dan VB untuk penanganan ABK silahkan anda tambahkan:  FB Group: Rury ABA/VB Untuk Autisma

Peringatan: Informasi yang saya tulis harap digunakan sebagai informasi yang memperkaya pengetahuan anda, tetapi sebaiknya anda komunikasikan dengan professional yang menangani anak anda sebelum diterapkan. Ilmu yang saya sampaikan sesuai dengan keilmuan yang saya pelajari tetapi harus dipahami bahwa setiap kasus anak adalah unik. Saya tidak bertanggung jawab atas kesalahpahaman atau penyalahgunaan dari informasi yang anda terima.