Select menu item

Terapi Intensif, Sekolah Khusus atau Sekolah Umum (Inklusi)

*

Pertanyaan yang selalu ada di benak orangtua bagaimana sebaiknya pendidikan yang terbaik untuk sang anak, apakah terapi intensif, sekolah di sekolah khusus atau sekolah umum yang memiliki program inklusi. Sekolah yang memiliki program inklusi adalah dimana anak autis bersekolah di satu kelas dengan anak-anak lain, menghabiskan semua atau sebagian besar waktu di sekolah dengan mereka, tetapi memiliki beberapa penyesuaian dalam target dan sistem pengajaran sehingga anak ABK terbiasa berada di dalam lingkungan dengan target jangka panjang mereka berhasil dalam kehidupan sebenarnya.

Sebagai orangtua, saya paham sekali bahwa penempatan sekolah adalah hal yang sensitif dan menyangkut image keluarga di lingkungan. Kesan tersembunyi dari penempatan adalah, jika anak butuh intensif terapi berarti anak masih ‘bermasalah’, penempatan di sekolah khusus seperti memberikan image bahwa anak adalah benar ‘autis’ dan penempatan di sekolah umum (dalam program inklusi) adalah sang ‘anak sudah normal atau mendekati normal’. Seringkali orangtua memaksakan kehendak supaya anak dapat sekolah di sekolah umum dan menganggap ini adalah tonggak keberhasilan dan program selesai. Padahal ini adalah awal dari pengenalan anak di kehidupan yang sebenar-benarnya akan banyak sekali tantangan dan hambatan yang akan dihadapi. Apakah orangtua siap dengan kondisi dan situasinya?

Sudah seharusnya orangtua memikirkan jangka panjang terhadap pendidikan sang anak. Selalu targetkan penempatan demi kebaikan sang anak bukan kenyamanan orangtua. Dimanakah anak akan mendapatkan lingkungan yang terbaik untuk berkembang secara optimal? Dan harus diingat, sekolah favorit yang bagus untuk anak typical belum tentu terbaik untuk anak autis.

Harus dipahami juga bahwa anak autis memiliki gangguan di kemampuan bahasa, sosial dan bermain sehingga tidak dengan hanya memasukkan mereka ke sekolah tanpa kemampuan dasar dan pendukung yang sesuai kemudian mereka akan dengan sendirinya mengejar ketinggalan dari teman-temannya. Sebelum anak mampu belajar secara mandiri atau dengan sedikit bantuan dari lingkungan (misal dari guru pendamping), akan lebih baik anak belajar lebih lama di dalam terapi intensif atau sekolah khusus (tergantung umur dan kondisi sang anak).

VB-MAPP memiliki alat untuk assessmen kesiapan anak untuk bersekolah yang dinamakan VB-MAPP Transition Assessment.  Area yang dibahasa dalam VB-MAPP meliputi:

  1. Kemampuan pencapaian secara keseluruhan di milestones VB-MAPP, apakah perkembangan level 1(0-18 bulan), level 2(18-30 bulan) atau level 3(30-48) bulan. Untuk level 1 usia perkembangan (0-18) bulan, akan sangat sulit mengikuti pendidikan inklusi di sekolah umum. Level 1 itu adalah anak yang minim mand, tact, echo, kurang memiliki kemampuan matching-to-sample, sosial, bermain, kurang memiliki imitasi dan mengikuti perintah. Bayangkan anak umur dibawah 18 bulan bersekolah di TK, apakah mereka bisa mengambil manfaat dari lingkungan sekolah tersebut? Seorang anak level 2 sudah memiliki dasar-dasar dari mand, tact, echo, intraverbal dan sang anak sudah mulai siap untuk mengikuti intruksi secara grup tetapi masih memerlukan rasio guru dan murid yang besar. Sekolah khusus atau inklusi sekolah umum dengan bantuan guru pendamping bisa merupakan alternatif. Sementara anak level 3 sudah siap menerima intruksi secara grup, sudah mahir menggunakan bahasa sesuai fungsi nya akan sangat bermanfaat di inklusi sekolah umum (dengan atau tidak guru pendamping tergantung kondisi anak dan sekolah).
  2. Kemampuan pencapaian keseluruhan VB-MAPP barriers assessment (hambatan dalam belajar). Jika masih banyak hambatan dalam belajar anak lebih baik ditempatkan di intensif program atau sekolah khusus, tetapi sebaliknya jika hambatannya minimal anak dapat ditempatkan di inklusi sekolah umum.
  3. Kemampuan problem behavior dan kemampuan mengikuti perintah. Jika anak masih memiliki banyak problem behavior seperti tantrum berlebihan, agresif, suka mukul, dll akan sangat sulit mengajarkan anak di kelas dan bisa juga menimbulkan masalah safety terhadap anak yang lain. Contoh jika anak tantrum saat pelajaran karena menghindari tugas, pendekatan yang benar guru sebaiknya tidak menyuruh anak itu keluar karena akan membuat anak selalu tantrum supaya menghindari tugas sementara guru tidak punya pilihan lain karena behavior ini mengganggu kelas dan mungkin bisa melukai anak yang lain.
  4. Mandiri/hampir mandiri dalam mengikuti rutinitas kelas dan grup. Jika anak belum mandiri dalam mengikuti rutinitas kelas dan grup, tentu akan membuat kelas tersendat karena guru sibuk mengingatkan anak untuk misalnya pindah dari aktivitas satu ke aktivitas yang lain.
  5. Memiliki paling tidak sedikit kemampuan bermain dan sosialiasi di lingkungan sehingga anak dapat belajar dari teman-temannya di sekolah dalam situasi sosial, tetapi jika anak masih terisolasi asik dengan dirinya sendiri tentu tidak ada keuntungan inklusi di sekolah umum.
  6. Hampir (mandiri) dalam mengerjakan tugas. Situasi dalam kelas adalah anak diharuskan untuk mengerjakan tugas dan guru sekali-kali datang untuk mengecek apakah anak mengerjakan atau tidak. Tentu jika anak belum mandiri akan sulit dia akan membutuhkan tambahan guru pendamping. Kalaupun ada guru pendamping, harus dipikirkan juga level akademik dari sang anak, apakah anak lambat mengerjakan tugas atau paham sehingga akan sulit untuk mengikuti pelajaran di sekolah, walaupun mungkin anak memiliki target berbeda dari teman-temannya (memiliki kurikulum yang di modifikasi, IEP, Individualized Education Program.
  7. Kemampuan generalisasi materi baru dalam berbagai waktu, setting, behavior, materi dan orang. Beberapa anak autis sangat kaku dalam belajar kemampuan baru. Jika anak sangat kaku misalnya hanya mengerti jika diberi tau oleh terapisnya saja tetapi tidak paham jika instruksi diberikan orang lain tentu akan sulit beradaptasi di kelas.
  8. Sudah dapat menerima reinforcers yang sosial atau reinforcers yang sesuai dengan umurnya, misal pujian, stamp, stiker, dll. Tentu akan sulit jika anak masih mengandalkan reinforcer yang basic seperti makanan, minuman, mainan untuk mengajarkan kemampuan baru.
  9. Kemampuan untuk menguasai target baru dalam sedikit latihan saja. Jika anak memerlukan waktu sangat lama untuk melabel 1 benda, tentu tidak akan ada gunanya dia ada di kelas yang kondisinya dalam sehari harus belajar konsep yang cukup banyak.
  10. Kemampuan untuk mempertahankan/mengingat suatu pelajaran baru. Jika anak memiliki kesulitan untun mengingat pelajaran baru bagaimana anak dapat belajar pelajaran selanjutnya, karena pelajaran selanjutnya memerlukan dasar dari yang sebelumnya. Contoh anak harus hapal alphabet sebelum bisa membaca.
  11. Kemampuan belajar dari natural environment. Anak dapat belajar dan mengikuti dari apa yang dia lihat di sekolah, kemampuan imitasi level tinggi dibutuhkan agar anak dapat bermanfaat di dalam situasi inklusi kelas dan kemampuan berfikir sebab akibat.
  12. Kemampuan transfer otomatis antara verbal operant (mand, tact, echoic dan intraverbal). Dalam tahap awal pelatihan bahasa dari sang anak, anak diajarkan terpisah tetapi tujuan akhir dari pelatihan adalah anak dapat melakukan transfer otomatis antara verbal operant. Misal anak yang baru belajar tentang buah-buahan, secara otomatis anak dapat menghubungkannya jika ditanya apa yang termasuk buah-buahan, apakah buah-buahan favoritnya, dll
  13. Kemampuan adaptasi untuk perubahan skedul dan aktivitas. Beberapa anak autis sangat kaku dalam rutinitas. Contoh mereka sangat hapal jalan dari rumah ke sekolah dan mungkin akan tantrum jika kita lewat jalan yang lain. Jadi beberapa anak akan sangat hapal dengan rutinitas kelas, tetapi pada kenyataannya situasi kelas sangat dinamik, misalnya ada field trip, guru tidak masuk sehingga harus diganti dengan guru yang lain, beberapa anak autis akan bingung dan terjadi tantrum.
  14. Kemampuan behavior yang spontan. Beberapa anak autis memiliki kekurangan dalam behavior yang spontan atau terbiasa dengan prompt dan hanya melakukan bahasa atau behavior tersebut jika di prompt oleh orang dewasa yang membuatnya sulit untuk berinteraksi secara alami dengan teman-temannya.
  15. Kemampuan bermain sendiri dan bermain bersama temannya. Hal ini lah yang paling ingin diambil manfaatnya dalam inklusi di sekolah umum anak dapat bermain dan berinteraksi sosial dengan teman-teman sebaya. Tetapi anak yang masih memiliki banyak stimming dan belum memiliki kemampuan bermain dengan teman-temannya tidak mendapatkan manfaat dari inklusi sekolah umum.
  16. Mandiri dalam kemampuan self-help, pergi ke toilet dan makan sendiri. Kemampuan ini sangat diperlukan dalam situasi inklusi di sekolah umum. Anak harus mampu membereskan tasnya sendiri, makan sendiri, pergi ke toilet sendiri dan pakai sepatu atau baju sendiri.

Kemampuan di atas harus dipikirkan sebelum orangtua memutuskan apa yang terbaik untuk anak. Orangtua harus berdiskusi dengan terapis dan kepala sekolah atau guru apakah tempat yang terbaik untuk sang anak. Jika orangtua memutuskan untuk memasukkan inklusi di sekolah umum, pastikan bahwa di sekolah tersebut memahami bagaimana menghadapi anak autis. Jika tidak mereka akan menganggap anak adalah nakal yang sulit diatur sehingga anak tidak berkembang sesuai yang kita inginkan. Waktu, biaya dan emosi akan terbuang percuma.  Jika anak salah penanganan, bukan hanya anak tidak bisa mempelajari hal baru tetapi malahan anak bisa mengalami kemunduran dan memiliki banyak problem behavior baru. Jadi penempatan sekolah memang bukan pilihan yang mudah untuk orangtua. Semoga point-point di atas bisa memberikan gambaran dalam pengambilan keputusan.

Peringatan: Informasi yang saya tulis harap digunakan sebagai informasi yang memperkaya pengetahuan anda, tetapi sebaiknya anda komunikasikan dengan professional yang menangani anak anda sebelum diterapkan. Ilmu yang saya sampaikan sesuai dengan keilmuan yang saya pelajari tetapi harus dipahami bahwa setiap kasus anak adalah unik. Saya tidak bertanggung jawab atas kesalahpahaman atau penyalahgunaan dari informasi yang anda terima.