Select menu item

Stimming

*

*

Stimming adalah stimulasi diri sendiri yang biasanya diasosiasikan dengan autisma karena ciri stimming dari individu autisma yang sangat khas atau biasa disebut stereotypi. Dalam definisi autisma, DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition atau manual diagnosa untuk kondisi mental individu edisi kelima) memasukkan stimming sebagai salah satu kriteria diagnosa dari anak autis. Bentuk stimming pada anak autis adalah gerakan atau suara dari sang anak yang bersifat kaku dan berulang, yang bentuknya bervariasi walau ada beberapa yang bersifat umum, termasuk didalamnya adalah kepak-kepak tangan, suara huuu huuu, menggerakkan kepala atau badan bolak balik, memutar-mutar obyek, mengucapkan kata berulang-ulang, matikan/nyalakan lampu, dll.

Stimming bukanlah sesuatu yang aneh, karena semua orang stimming dalam kesehariannya. Beberapa orang suka melipat-lipat kertas saat berpikir, suka bergoyang-goyang kaki saat duduk mendengarkan atau menggoyangkan pulpen ketika gelisah dan bosan. Tetapi bentuk stimming ini adalah hal umum yang biasa dilakukan orang sehingga walaupun merupakan stimming perilaku tersebut dapat diterima masyarakat dan tidak dianggap aneh sementara perilaku stimming individu autis berbeda dengan kebanyakan orang dan ada yang menjurus ke perilaku yang berbahaya (misal memukul kepala berulang-ulang, dll). Kemudian apakah bedanya dengan stimming pada anak autis selain pada tampilannya yang berbeda dan tidak umum? Bedanya adalah walau terlihat tidak berbahaya (kecuali yang memukul kepala), stimming dalam individu autis mempengaruhi aktivitas sehari hari serta mengganggu aktivitas belajar dan interaksi dengan lingkungan.

Apakah stimming dapat di hentikan? Jawabannya adalah tidak. Stimming tidak mungkin dihentikan sama sekali karena semua orang, autis ataupun tidak melakukannya. Hanya bedanya stimming untuk orang biasa dapat diterima masyarkat umum. Jika stimming dilarang, akan muncul bentuk stimming lain yang bisa jadi lebih tidak diterima oleh masyarakat atau lebih berbahaya. Stimming juga merupakan bentuk pelepasan emosi sehingga tidak bijaksana juga benar-benar melarang stimming bahkan dapat berpindah ke bentuk yang lebih buruk, jadi sebaiknya stimming di manage dengan baik.

Sebelum kita dapat me-manage stimming dengan baik, kita harus memahami mengapa stimming terjadi dan apa fungsinya untuk sang anak. Ada beberapa hipotesa yang menjelaskan mengapa anak autis melakukan stimming, yaitu:

  1. Menyeimbangkan sensory input dari lingkungan. Jika anak overstimulasi, stimming dapat membantu mem-blok sensori dari lingkungan misalnya terlalu berisik, terlalu terang atau terlalu ramai misalnya menutup telinga, bersuara secara konstan, dll. Sebaliknya jika anak understimulasi, stimming dapat memberikan ekstra sensory input yang dibutuhkan anak seperti memutar-mutar barang, kepak-kepak tangan, dll
  2. Mengurangi rasa sakit. Ada teori yang mengatakan memukulkan kepala atau badan akan mengurangi sensasi sakit. Stimming dapat menyebabkan pelepasan beta-endorhpin dalam tubuh yang memberikan sensasi anestesi atau kenyamanan.
  3. Manajemen emosi. Positif dan negatif emosi dapat meningkatkan stimming, misalnya terlalu gembira, terlalu semangat anak akan melompat-lompat atau kepak tangannya. Sementara jika anak terlalu bersedih dia bisa membenturkan kepalanya, mengeluarkan suara-suara tanpa makna, dll.
  4. Regulasi sendiri. Beberapa stimming memberikan efek menenangkan, seperti menghisap jari pada bayi.
  5. Bentuk komunikasi. Terkadang karena sang anak tidak mampu mengutarakan keinginannya terhadap orang lain, anak yang stimming terutama yang melakukan “menyakiti diri sendiri” langsung mendapatkan perhatian dari orang lain yang menyebabkan kejadian ini terulang dan dianggap anak sebagai cara terbaik untuk mendapatkan perhatian atau butuh bantuan dari orang lain.

Bagaimana mengurangi stimming adalah sebagai berikut:

  1. Periksa kesehatan ke dokter untuk mengetahui apakah stimming berhubungan dengan kesehatan seperti radang telinga, sakit kepala, sakit mata, dll
  2. Mengganti perilaku stimming dengan perilaku stimming yang lain yang memberikan efek reinforcement ‘sensasi’ yang sama dengan stimming semula tetapi tidak membuat orang terlihat aneh di lingkungan. Misalnya jika anak suka flapping hands bisa diajarkan untuk memasukkan tangan ke sakunya, atau bisa dengan meremas bola stress (bola karet), jika anak suka sensasi di mulut, berikan makanan yang bikin anak mengunyah seperti kerupuk, kripik atau permen karet dll.
  3. Jika anak stimming, tetap berinteraksi dengan sang anak. Stimming akan berkurang jika anak bisa diarahkan melakukan tindakan lain yang lebih bermakna. Putus rantai stimming dengan mengajak anak bermain atau berinteraksi.
  4. Ajarkan anak cara bermain, sehingga dia dapat menggunakan bermain sebagai pengisi waktu luangnya yang dapat mengurangi stimming.
  5. Ajakan cara komunikasi dengan anak jika anak butuh perhatian atau bantuan orang lain, misal dengan manding, vokal ataupun non-vokal (dengan bantuan pecs atau compic).
  6. Siapkan lingkungan yang membuat anak nyaman secara sensori dan emosional dan juga mempersiapkan anak untuk menghadapi atau me-manage sensori yang mungkin masuk dalam anak. Misalnya jika ingin mengajak anak ke mall dan beradaptasi dengan kondisi mall yang ramai. Dapat dikenalkan suara bising secara perlahan, misalnya latih anak dari datang ke mall di saat pagi saat tingkat kebisingan rendah.
  7. Pada saat anak belajar, sebaiknya diberikan sensory break sehingga sebelum anak melakukan stimming dapat diarahkan ke bentuk lain yang lebih bermakna seperti bermain di playground, lompat-lompat di trampoline, dll
  8. Berolahraga dapat mengurangi stimming, karena berolahraga memberikan sensasi yang sama dengan stimming tanpa terlihat aneh jika anak hiperaktif melakukan kegiatan fisik.

Mengurangi atau me-manage stimming dapat meningkatkan kualitas hidup individu dengan autisma. Jika mereka dapat mengontrol perilaku stimming, mereka mampu belajar tanpa distraksi, interaksi dengan orang lain tanpa takut atau terintimidasi karena berbeda dari orang biasa.